Saat sekolah ditutup untuk memutus mata rantai penularan covid-19, kegiatan belajar mengajar di sekolah dipindahkan dari sekolah ke rumah. Para siswa belajar di rumah, guru pun mengajar dari rumah. Namun metode belajar tersebut dinilai tidak selalu cocok dan tidak efektif bahkan dapat berdampak menurunkan kualitas pendidikan dan penurunan kemampuan belajar “learning loss”.
Beradaptasi dan mengembangkan pembelajaran sesuai kondisi menjadi kata kunci untuk semua sekolah, karena pendidikan tidak boleh berhenti dan mati gaya gara-gara pandemi.
Saat pandemi guru dituntut untuk tetap memberikan pembelajaran secara daring melalui berbagai aplikasi yang ada. Rangkaian aktivitas pembelajaran disesuaikan dengan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing murid guna memberikan pembelajaran yang bermakna tanpa ada beban untuk menuntaskan seluruh capaian kurikulum.
Siswa belajar dari rumah membuat pradigma pendidikan menjadi customize (penyesuaian) yang selama ini kita hanya mengenal yang namanya belajar harus di sekolah mengalami penyesuaian yaitu belajar dapat dilakukan dimana saja, media apa saja dan kapan saja. Masalahnya yang menjadi tantangan baru saat siswa belajar dari rumah adalah bergesernya manajer pembelajaaran dari guru ke orang tua. Pegeseran ini menjadi tantangan yang menghadirkan praktik baik, yakni “mengembalikan” fungsi keluarga sebagai pendididkan pertama bagi anak atau madrasatul-ula. Keluarga adalah sekolah pertama yang nantinya akan memberikan keteladanan bagi sikap, prilaku dan kepribadian anak.
Durasi belajar dari rumah bukan saja memberi waktu yang lebih leluasa bermain bersama keluarga, namun membuat orang tua lebih terlibat. Peran orang tua akan lebih terasa menjadi “guru” ketika sang anak mengalami hambatan atau kesulitan dalam pembelajaran.
Namun gambaran belajar dari rumah saat pandemi tidaklah seragam, orang tua meresponnya yang berbeda-beda. Hal tersebut tergantung kondisi dan karakter masing-masing kelurga yang unik.
Kondisi seperti sekarang ini tidak sekedar menantang untuk berkreasi bagi sekolah, namun memberikan ruang guna merancang sekolah yang inovatif ketika “kenormalan yang baru” tiba. Pengalaman belajar dan mengajar dari rumah diyakini dapat terbawa dalam suasana kelas, yaitu bagaimana nanti mengelola pembelajaran di era digital dalam keadaan kenormalan yang baru.
Mskipun peserta didik, guru dan orang tua dipaksa untuk berdaptasi dengan cepat ke dunia maya, namun membimbing anak dari samping akan menciptakan budaya belajar baru, baik di rumah maupun lebih-lebih di sekolah. Lebih dari pada itu, teknologi pembelajaran saat pandemi telah membawa mereka ke dalam ruang virtual walapun demikian kita tetap hidup dalam dunia nyata. Kita hanya menggunakan teknologi tersebut untuk mendapatkan pengalaman belajar yang lebih bermakna. (Hes50)